Sementara lainnya, ada
orang belajar tentang pertanian melalui sekolahan dan bahkan
universitas. Berbeda cara belajar bertani melalui pengalaman, adalah
belajar bertani melalui lemaga pendidikan, dilaksanakan secara
sistematis, mengikuti kurikulum, cara belajar, buku atau literature,
guru, dan juga dilakukan evaluasi pada setiap waktu tertentu. Belajar
pertanian di lembaga pendidikan, dilakukan dengan cara yaitu para siswa
diajak memahami teori-teori yang disusun oleh para ahli, meneliti di
laboratorium, dan juga melakukan uji coba yang bisa dilakukan.
Belajar dengan cara tersebut, dalam waktu tertentu berhasil memahami
dunia pertanian secara lebih luas. Bahan yang diajarkan berupa
prinsip-prinsip, konsep-konsep, kaidah-kaidah, teori-teori yang terkait
dengan pertanian menjadikan para siswa atau mahasiswa memiliki wawasan
luas. Sudah barang tentu, bahwa kaidah, teori, prinsip-prinsip itu
sifatnya umum sedangkan detail-detailnya hendaknya dikembangkan sendiri.
Dengan belajar secara tekun para siswa atau mahasiswa akan mampu
memahami teori, konsep, atau prinsip-prinsip itu. Akan tetapi dalam
praktek mereka belum tentu berhasil mengalahkan petani yang sudah lama
bekerja di lapangan pertanian.
Orang yang lama belajar
pertanian melalui lembaga pendidikan formal seringkali masih kalah
dengan para petani yang kaya pengalaman. Sehingga sementara orang
menyebut mereka sebagai telah memiliki keahlian dalam bertani, tetapi
tidak bisa bertani. Mereka bisa menjelaskan berbagai hal tentang
pertanian, mulai dari mengenal jenis tanah, jenis bibit, bagaimana
menanam secara efentif, perilaku tanaman, iklim yang cocok dengan jenis
tanaman tertentu tetapi sebaliknya tidak cocok bagi tanaman lainnya,
bagaimana memanen dan seterusnya. Akan tetapi, mereka belum tentu telah
memiliki pengalaman yang cukup dalam praktek.
Pertanyaannya
adalah jenis pendidikan mana yang dibutuhkan oleh bangsa pada saat ini.
Penddikan formal, semacam sekolah pertanian atau fakultas pertanian
sekalipun, berhasil memberikan bekal berupa kemampuan akademik, tetapi
belum tentu berhasil tatkala dituntut memberi bekal kultur atau budaya
pertanian. Secara akademik, lulusan lembaga pendidikan formal, mereka
paham tentang pertanian tetapi penghayatan terhadap pertanian, dan
apalagi kecintaan terhadap bidang itu tidak selalu berhasil dibangun.
Banyak contoh hasil pendidikan pertanian tidak tertarik pada lapangan
pekerjaan pertanian, tetapi milih jenis pekerjaan lain seperti menjadi
pegawai perbankan, PNS, dan bahkan juga sebagai wartawan. Mereka belajar
tentang pertanian hanya dimaksudkan sebagai cara mereka berlatih
berpikir, mengembangkan nalar atau berlatih berpikir academic. Padahal
semestinya, akan menjadi lebih sempurna jika para ilmuwan pertanian itu
juga berhasil membangun kecintaan atau budaya bertani.
Budaya
bertani menurut hemat saya bisa dibangun melalui kedekatan seseorang
dengan dunia pertanian itu sendiri. Selama ini lembaga pendidikan,
termasuk lembaga pendidikan tinggi sekalipun, belum banyak yang
mengembangkan usaha-usaha kearah itu. Lembaga pendidikan pertanian tidak
jarang yang hanya menyediakan ruang kelas, perpustakaan dan
laboratorium. Belajar tentang pertanian tidak secara langsung di
lapangan, melainkan di ruang kelas, atau di laboratorium itu. Akibatnya,
mereka tidak berhasil menghayati secara lebih mendalam tentang
pertanian.
Umpama lembaga pendidikan pertanian atau bahkan
juga kampus fakultas pertanian diletakkan di wilayah pertaniaan
------gunung, desa atau di hutan, sehingga para siswa tidak saja
diberikan pelajaran tentang ilmu pertanian, melainkan sehari-hari
langsung bergumul dengan kegiatan pertanian di lahan itu, maka akan
dihasilkan orang yang mengerti tentang pertanian sekaligus juga
menghayati dan mencintai bidang ilmunya itu. Para siswa atau mahasiswa
pertanian, dengan begitu, setiap hari berada di beberapa lingkungan
akademik yaitu di laboratorium, perpustakaan, dan dibimbing langsung
dari dosen atau guru besar pertanian sekaligus di lahan pertanian.
Lembaga
pendidikan pertanian dan atau fakultas pertanian semestinya tidak
berlokasi di tengah kota, melainkan di desa yang lahannya masih luas.
Para siswa atau mahasiswa dengan begitu sehari-hari tidak saja berwacana
atau membayangkan dunia pertanian, melainkan secara langsung belajar
tentang pertanian sebagaimana anak desa dalam belajar bertani. Bedanya,
para siswa dan mahasiswa selain belajar dari pengalaman juga belajar
tentang prinsip, konsep, teori yang terkait dengan bidang itu.
0 komentar:
Posting Komentar